Berbagai masalah rumah tangga, pekerjaan, sampai kenakalan anak, tak jarang membuat Anda lepas kontrol dan marah. Bahkan tak jarang, anak-anak menjadi sasaran kemarahan Anda, entah melalui sikap ataupun kata-kata kasar yang keluar dari mulut Anda. Hati-hati bila Anda sering kelepasan bicara seperti ini.
"Kata-kata bisa menjadi sumber inspirasi, tapi juga bisa melukai perasaan," ungkap Chick Moorman, penulis buku Parent Talk dan Spirit Whisperers.
Meskipun anak Anda menimbulkan banyak masalah, namun sebagai orangtua tak sepatutnya Anda melontarkan kata-kata yang menyakitkan bagi anak. Karena efek dari ucapan yang kasar tersebut seringkali lebih merugikan daripada yang Anda bayangkan. Contohnya seperti ini.
"Kalau nakal, Ibu akan meninggalkanmu di sini." Anda mengancam dan menakuti anak-anak dengan harapan agar mereka patuh pada perintah Anda. Perlu Anda ketahui, ketakutan terbesar anak-anak kecil adalah tersesat sendirian, dan merasa tidak aman. Oleh karena itu, tindakan Anda meninggalkannya sendirian akan menimbulkan trauma bagi dirinya.
Alih-alih mengancam dan menakuti anak, lebih baik katakan keinginan Anda dengan baik. Misalnya ketika anak merengek minta mainan, katakan saja padanya, "Arka, kalau kamu terus merengek seperti itu, kita akan pulang sekarang. Tapi kalau kamu tidak nakal, kita akan tetap di toko ini dan memilih belanjaan bersama."
Alternatif lainnya adalah dengan beristirahat sejenak. Kenakalan anak dan kemarahan Anda mungkin saja merupakan tanda bahwa Anda atau anak butuh istirahat.
"Kamu seharusnya malu." Banyak orangtua yang beranggapan bahwa dengan mengungkapkan hal tersebut anak akan malu dan akan mengubah sikapnya sesuai dengan yang mereka inginkan. Tetapi, anak kecil belum dapat memahami rasa malu yang terjadi akibat kesalahan yang diperbuatnya. Karena itu, hal ini belum tentu langsung berhasil. Jika terlalu sering mengatakan hal ini, mereka hanya akan berpikir bahwa segala sesuatu yang dilakukannya selalu salah.
"Seandainya kamu tidak pernah ada." Kalimat ini punya makna: "Ayah dan ibu tidak pernah menginginkanmu." Karenanya, kalimat ini tidak sepantasnya diucapkan oleh orangtua. Kalimat ini akan sangat menyakitkan bagi si anak, maupun orang lain yang mendengarnya. Terlepas dari kenakalan yang telah dilakukan anak, ia hadir karena kehendak Anda dan suami. Maka, bersikaplah sebagai orangtua yang bertanggungjawab dengan mengasuh dan mendidik anak dengan baik, bukannya menyalahkannya karena lahir di dunia.
"Kamu yang membuat Ibu bercerai." Tidak ada anak yang menjadi penyebab orangtuanya bercerai. Ketika kalimat ini diucapkan, maka secara tak langsung Anda membuat anak-anak menanggung beban emosional seumur hidupnya. Bahkan ketika Anda menjelaskan dengan penuh kehati-hatian tentang perceraian, anak-anak akan merasa sangat bertanggung jawab atas keputusan Anda untuk bercerai. Anak akan beranggapan bahwa jika dia bersikap lebih baik, maka Anda tidak akan bercerai. Meski tak terucapkan oleh anak, masalah ini sering jadi masalah yang serius.
"Kenapa kamu tidak seperti saudaramu yang lain?" Dengan mengatakan hal ini maka secara tidak langsung Anda membandingkan anak-anak dengan saudaranya yang lain, bahwa anak tidak cukup pintar, cukup baik, ataupun cepat belajar dibanding saudaranya. Pembandingan ini juga akan meningkatkan persaingan antarsaudara meningkat, yang kelak akan merusak hubungan persaudaraan dan mengembangkan keterpisahan. Terima setiap anak dalam keluarga Anda, karena mereka memiliki keunikan dan keistimewaan sendiri. Bantu anak untuk melihat keistimewaan mereka dengan berfokus pada masing-masing individu tanpa menggunakan perbandingan.
"Biar Ibu yang menyelesaikan." Mungkin, maksud hati ingin membantunya menyelesaikan pekerjaan rumah yang sulit dikerjakan. Namun, jika Anda terlalu sering melakukan hal ini, maka Anda telah mengambil alih pekerjaan anak yang seharusnya bisa dikerjakannya sendiri. Hal ini justru malah akan melemahkannya. Mengambil alih pekerjaan anak mungkin bisa menghemat waktu Anda di masa sekarang, tetapi Anda meninggalkan beban di masa depan karena anak jadi tak terbiasa mandiri.
"Ibu bilang begitu, ikuti saja." Kalimat ini memang terdengar seperti perintah keras bagi anak. Namun, arti yang terdalam dari kalimat ini adalah, "Saya orang dewasa, dan kamu anak-anak", atau "Saya pintar, dan kamu bodoh", atau "Saya berkuasa, dan kamu tidak", atau "Saya yang mengatur, dan kamu yang harus mengerjakan". Penegasan ini akan menciptakan jurang yang lebar antara Anda dan anak.
Gaya bicara seperti ini menimbulkan rasa kesal pada anak, bahkan mungkin rasa benci dan persaingan untuk berebut kekuasaan dalam rumah. Cobalah untuk menggunakan bahasa yang lebih baik untuk mengungkapkan ketidaksetujuan anak, sehingga mereka lebih menghormati dan mengerti apa yang Anda rasakan.
Sumber : Kompas
Mereka itu "Anak Kecil"
"Lemah-lembutlah kepadanya
Namun jangan terlalu memanjakannya
Tegurlah bila ia tersalah
Namun janganlah lukai hatinya
Bersabarlah bila menghadapinya
Terimalah ia dengan keikhlasan.."
Sepenggal lirik di atas saya ambil dari lirik lagu maidany "kaca yang berdebu". Sebenarnya kalau saya baca semua isi liriknya lagu ini ditujukan untuk istri/orang tua atau orang dewasa lainnya yang melakukan kesalahan dan kita diminta untuk ikhlas dan sabar menghadapinya. Tapi kali ini saya tujukan kepada anak kecil. Ya anak kecil, anak kecil yang polos, belum berdebu, orang tuanya lah yang menjadikan anaknya Nasr*ni, Majusi..“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah,lalu kedua orangtuanya yang menjadikan ia Yahudi, Nasr*ni atau Majusi.” (HR. Baihaqi)
Plakkk! Sebuah tamparan kuat mendarat di pipi Rio (bukan nama sebenarnya), bocah berumur 9 tahun itupun meringis kesakitan.Iapun menangis tersedu-sedu hingga tubuh mungilnya terguncang-guncang. Batinnya berguncang mempertanyakan apa yang salah pada dirinya, sehingga harus diperlakukan seperti itu. Perlakuan itu ia dapatkan hanya karena ia tidak dapat mengerjakan tugas matematika yang diberikan oleh gurunya.
Itu satu contoh kekerasan dalam mendidik anak, miris sekali...bukan hanya guru, terkadang para orang tuapun memperlakukan anaknya dengan kekerasan. Sering saya melihat/mendengar orang tua yang doyan memarahi/membentak/memukul/menampar anaknya, terkadang hanya gara2 masalah sepele, seperti tidak mau belajar, tidak mau makan, tidak mau tidur siang atau gara2 mengotori rumah. Duh mengapa orang tua ini, ya mungkin bisa jadi masa kecilnya dididik orang tuanya seperti itu, bisa juga karna lingkungan tempat tinggal yang dimana rata rata orang tua dilingkungan tsb mendidik anak2nya seperti itu, bisa juga karena rendahnya pengetahuan dalam hal mendidik anak.
Saya menulis topik ini karna saya juga telah dan sedang mengalaminya. Saya punya dua orang anak, satu putra dan satu putri. Kedua watak anak saya ini memiliki watak yang agak berbeda. Si abang memiliki watak yang agak keras kemauannnya. Bila ada sesuatu yang diinginkannya, harus dapat dimilikinya. Sedangkan si adik lebih penurut, lebih bisa diatur. Apakah sifat kedua anak ini,ini turun dari genetik ortunya, ya mungkin ada benarnya, tapi nurut saya yang lebih dominan itu adalah didikan. Bila si adik bisa di tegur/dimarahi saat melakukan kesalahan dan langsung nurut bukan berarti hal yang sama bisa dilakukan terhadap si abang. Si abang yang memiliki watak yang keras, mengapa tidak bisa menurut apabila ditegur/dimarahi, tentu kita sebagai orang tua harus bisa mempelajari, seperti apa yang sebaiknya dilakukan kepadanya. Dan saya mempraktikkan padanya untuk diberikan pilihan atau pengalihan. Contoh saat si abang bermain bola di dalam rumah yang bisa menyebabkan kaca jendela rumah pecah, saya tidak melarang, karena dengan melarang akan mematikan kreativitasnya bukan? tapi cara yang saya lakukan adalah dengan memberi pilihan padanya agar bermain diluar rumah, dan terbukti cara ini lebih efektif.
Marah, tentu saya sebagai oang tua juga pernah melakukannya. Bukan tidak, tapi marah yang yang seperti apa, sebabnya apa. Memukul, boleh saja bila kesalahan si anak sudah di luar batas atau hal yang diwajibkan/dilarang agama, dan itupun dilakukan apabila dengan cara menasihati sudah tidak mempan dan tujuannya untuk mendidik. Contoh dari sebuah hadist Nabi yang artinya : “Perintahlah anak-anakmu untuk melaksanakan shalat ketika dia berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka apabila sampai berusia sepuluh tahun dia tetap enggan mengerjakan shalat”. (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Titik tekan dari pemukulan yang dianjurkan seperti dalam hadist tersebut adalah pada sisi mendidiknya, bukan memukulnya. Memukul bukan suatu cara paten yang dianjurkan oleh Islam. Dengan kata lain, hadist tersebut mengandung pengertian betapa pentingnya mendidik anak sebagai tanggungjawab orang tua. Bahkan, Ibn Suraij tidak memperkenankan memukul di atas hitungan 3 kali. Izzudin Ibn Abdis Salam juga berpendapat, walaupun, orang tua yakin kalau anak tersebut dipukul sampai keras (menyakitkan) dia tidak akan jera, tetap orang tua tidak boleh memukul dengan cara yang kasar. Sebab, yang menjadi fokus perhatian adalah sisi mendidiknya. (al-Dimyatiy, Hāsyiyah I’ānah al-Thālibīn, juz. I, hlm. 24; Wahbah al-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islāmiy wa Adillatuh, juz. I, hlm. 724)
Menurut saya anak dididik dibentuk oleh empat faktor. Pertama, ayah yang berperan utama dalam membentuk kepribadian anak. Bahkan, dalam Al-Quran hampir semua ayat yang berbicara tentang pendidikan anak, yang berperan adalah ayah (imam dalam keluarga); Kedua, yang membentuk kepribadiannya juga adalah ibu; ketiga, apa yang dibacanya (ilmu); dan keempat, lingkungan, kalau ini baik, anak bisa baik, juga sebaliknya. Jelas yang paling sangat berpengaruh yang membentuk watak dan kepribadian anak adalah lingkungan di keluarga si anak itu sendiri, faktor pendidikan orang tua (terutama pendidikan agama) sangat berpengaruh terhadap cara nya mendidik anak anaknya, termasuk sikap dalam mendidik apakah demokratis atau otokratis, keras atau lembut.
Berikut saya kutip beberapa hadits Mendidik anak ala Rasulullah :
Abul Hasan meriwayatkan bahwa suatu hari seseorang bertanya kepada Nabi Muhammad saw: “Ya Rasulullah, apakah hak anakkku dariku?” Nabi menjawab:”Engkau baguskan nama dan pendidikannya, kemudian engkau tempatkan ia di tempat yang baik.” Inilah tuntunan yang diberikan Islam bagi orang tua dalam memberikan pendidikan yang baik bahkan memberikan nama sekalipun.
Mendidik anak bagi Nabi Saw. adalah menumbuhkembangkan kepribadian sang anak dengan memberikan kehormatan kepadanya, sehingga beliau sangat menghormati anak-cucunya. Bila memang sejak kecil ia sudah memiliki perasaan, maka jangan sampai ada perlakuan
yang menjadikannya merasa terhina. Allah merahmati seseorang yang membantu anaknya untuk berbakti kepada orang tuanya. Nabi Saw. pernah ditanya, “Bagaimana seseorang membantu anaknya supaya ia berbakti?”, Nabi berkata:
“Janganlah ia dibebani (hal) yang melebihi kemampuannya, memakinya, menakut-nakutinya, dan menghinanya”.
Ada sebuah riwayat, seorang anak lelaki digendong oleh Nabi dan anak itu pipis, lantas ibunya langsung merebut anaknya itu dengan kasar. Nabi kemudian bersabda,
“Hai, bajuku ini bisa dibersihkan oleh air, tetapi hati seorang anak siapa yang bisa membersihkan”. Riwayat lain menyebutkan bahwa Nabi berkata,“Jangan, biarkan ia kencing”.
Dari hal ini, muncul ketentuan, bila anak laki-laki kencing cukup dibasuh, sedangkan bila anak perempuan dicuci dengan sabun. Riwayat tadi memberi pelajaran bahwa sikap kasar terhadap seorang anak dapat mempengaruhi jiwanya sampai kelak ia dewasa.
Namun sisi lain, ada satu hal di mana Nabi sangat hati-hati dalam persoalan anak. Ketika Nabi lagi di masjid, ada orang yang kirim kurma, kemudian cucunya datang dan mengambil sebuah kurma lalu dimakannya. Nabi bertanya kepada ibunya, “Ini anak tadi mengambil kurma dari mana?” Sampai akhirnya, dipanggilnya Saidina Hasan dan dicongkel kurma dari mulutnya. Ini maknanya apa? Nabi tidak mau anak cucunya itu memakan sesuatu yang haram, walaupun ia masih kecil dan tidak ada dosa baginya, karena itu akan memberikan pengaruh kepadanya kelak ia besar.
So, berhati hatilah dalam mendidik anak karena anak merupakan investasi masa depan, ingat ini bukanlah hal yang sepele karena amal kita yang tidak terputus kelak adalah doa anak yang soleh lo..
Mudah mudahan tulisan ini bisa bermanfaat buat temen netter sekalian,,
Namun jangan terlalu memanjakannya
Tegurlah bila ia tersalah
Namun janganlah lukai hatinya
Bersabarlah bila menghadapinya
Terimalah ia dengan keikhlasan.."
Sepenggal lirik di atas saya ambil dari lirik lagu maidany "kaca yang berdebu". Sebenarnya kalau saya baca semua isi liriknya lagu ini ditujukan untuk istri/orang tua atau orang dewasa lainnya yang melakukan kesalahan dan kita diminta untuk ikhlas dan sabar menghadapinya. Tapi kali ini saya tujukan kepada anak kecil. Ya anak kecil, anak kecil yang polos, belum berdebu, orang tuanya lah yang menjadikan anaknya Nasr*ni, Majusi..“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah,lalu kedua orangtuanya yang menjadikan ia Yahudi, Nasr*ni atau Majusi.” (HR. Baihaqi)
Plakkk! Sebuah tamparan kuat mendarat di pipi Rio (bukan nama sebenarnya), bocah berumur 9 tahun itupun meringis kesakitan.Iapun menangis tersedu-sedu hingga tubuh mungilnya terguncang-guncang. Batinnya berguncang mempertanyakan apa yang salah pada dirinya, sehingga harus diperlakukan seperti itu. Perlakuan itu ia dapatkan hanya karena ia tidak dapat mengerjakan tugas matematika yang diberikan oleh gurunya.
Itu satu contoh kekerasan dalam mendidik anak, miris sekali...bukan hanya guru, terkadang para orang tuapun memperlakukan anaknya dengan kekerasan. Sering saya melihat/mendengar orang tua yang doyan memarahi/membentak/memukul/menampar anaknya, terkadang hanya gara2 masalah sepele, seperti tidak mau belajar, tidak mau makan, tidak mau tidur siang atau gara2 mengotori rumah. Duh mengapa orang tua ini, ya mungkin bisa jadi masa kecilnya dididik orang tuanya seperti itu, bisa juga karna lingkungan tempat tinggal yang dimana rata rata orang tua dilingkungan tsb mendidik anak2nya seperti itu, bisa juga karena rendahnya pengetahuan dalam hal mendidik anak.
Saya menulis topik ini karna saya juga telah dan sedang mengalaminya. Saya punya dua orang anak, satu putra dan satu putri. Kedua watak anak saya ini memiliki watak yang agak berbeda. Si abang memiliki watak yang agak keras kemauannnya. Bila ada sesuatu yang diinginkannya, harus dapat dimilikinya. Sedangkan si adik lebih penurut, lebih bisa diatur. Apakah sifat kedua anak ini,ini turun dari genetik ortunya, ya mungkin ada benarnya, tapi nurut saya yang lebih dominan itu adalah didikan. Bila si adik bisa di tegur/dimarahi saat melakukan kesalahan dan langsung nurut bukan berarti hal yang sama bisa dilakukan terhadap si abang. Si abang yang memiliki watak yang keras, mengapa tidak bisa menurut apabila ditegur/dimarahi, tentu kita sebagai orang tua harus bisa mempelajari, seperti apa yang sebaiknya dilakukan kepadanya. Dan saya mempraktikkan padanya untuk diberikan pilihan atau pengalihan. Contoh saat si abang bermain bola di dalam rumah yang bisa menyebabkan kaca jendela rumah pecah, saya tidak melarang, karena dengan melarang akan mematikan kreativitasnya bukan? tapi cara yang saya lakukan adalah dengan memberi pilihan padanya agar bermain diluar rumah, dan terbukti cara ini lebih efektif.
Marah, tentu saya sebagai oang tua juga pernah melakukannya. Bukan tidak, tapi marah yang yang seperti apa, sebabnya apa. Memukul, boleh saja bila kesalahan si anak sudah di luar batas atau hal yang diwajibkan/dilarang agama, dan itupun dilakukan apabila dengan cara menasihati sudah tidak mempan dan tujuannya untuk mendidik. Contoh dari sebuah hadist Nabi yang artinya : “Perintahlah anak-anakmu untuk melaksanakan shalat ketika dia berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka apabila sampai berusia sepuluh tahun dia tetap enggan mengerjakan shalat”. (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Titik tekan dari pemukulan yang dianjurkan seperti dalam hadist tersebut adalah pada sisi mendidiknya, bukan memukulnya. Memukul bukan suatu cara paten yang dianjurkan oleh Islam. Dengan kata lain, hadist tersebut mengandung pengertian betapa pentingnya mendidik anak sebagai tanggungjawab orang tua. Bahkan, Ibn Suraij tidak memperkenankan memukul di atas hitungan 3 kali. Izzudin Ibn Abdis Salam juga berpendapat, walaupun, orang tua yakin kalau anak tersebut dipukul sampai keras (menyakitkan) dia tidak akan jera, tetap orang tua tidak boleh memukul dengan cara yang kasar. Sebab, yang menjadi fokus perhatian adalah sisi mendidiknya. (al-Dimyatiy, Hāsyiyah I’ānah al-Thālibīn, juz. I, hlm. 24; Wahbah al-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islāmiy wa Adillatuh, juz. I, hlm. 724)
Menurut saya anak dididik dibentuk oleh empat faktor. Pertama, ayah yang berperan utama dalam membentuk kepribadian anak. Bahkan, dalam Al-Quran hampir semua ayat yang berbicara tentang pendidikan anak, yang berperan adalah ayah (imam dalam keluarga); Kedua, yang membentuk kepribadiannya juga adalah ibu; ketiga, apa yang dibacanya (ilmu); dan keempat, lingkungan, kalau ini baik, anak bisa baik, juga sebaliknya. Jelas yang paling sangat berpengaruh yang membentuk watak dan kepribadian anak adalah lingkungan di keluarga si anak itu sendiri, faktor pendidikan orang tua (terutama pendidikan agama) sangat berpengaruh terhadap cara nya mendidik anak anaknya, termasuk sikap dalam mendidik apakah demokratis atau otokratis, keras atau lembut.
Berikut saya kutip beberapa hadits Mendidik anak ala Rasulullah :
Abul Hasan meriwayatkan bahwa suatu hari seseorang bertanya kepada Nabi Muhammad saw: “Ya Rasulullah, apakah hak anakkku dariku?” Nabi menjawab:”Engkau baguskan nama dan pendidikannya, kemudian engkau tempatkan ia di tempat yang baik.” Inilah tuntunan yang diberikan Islam bagi orang tua dalam memberikan pendidikan yang baik bahkan memberikan nama sekalipun.
Mendidik anak bagi Nabi Saw. adalah menumbuhkembangkan kepribadian sang anak dengan memberikan kehormatan kepadanya, sehingga beliau sangat menghormati anak-cucunya. Bila memang sejak kecil ia sudah memiliki perasaan, maka jangan sampai ada perlakuan
yang menjadikannya merasa terhina. Allah merahmati seseorang yang membantu anaknya untuk berbakti kepada orang tuanya. Nabi Saw. pernah ditanya, “Bagaimana seseorang membantu anaknya supaya ia berbakti?”, Nabi berkata:
“Janganlah ia dibebani (hal) yang melebihi kemampuannya, memakinya, menakut-nakutinya, dan menghinanya”.
Ada sebuah riwayat, seorang anak lelaki digendong oleh Nabi dan anak itu pipis, lantas ibunya langsung merebut anaknya itu dengan kasar. Nabi kemudian bersabda,
“Hai, bajuku ini bisa dibersihkan oleh air, tetapi hati seorang anak siapa yang bisa membersihkan”. Riwayat lain menyebutkan bahwa Nabi berkata,“Jangan, biarkan ia kencing”.
Dari hal ini, muncul ketentuan, bila anak laki-laki kencing cukup dibasuh, sedangkan bila anak perempuan dicuci dengan sabun. Riwayat tadi memberi pelajaran bahwa sikap kasar terhadap seorang anak dapat mempengaruhi jiwanya sampai kelak ia dewasa.
Namun sisi lain, ada satu hal di mana Nabi sangat hati-hati dalam persoalan anak. Ketika Nabi lagi di masjid, ada orang yang kirim kurma, kemudian cucunya datang dan mengambil sebuah kurma lalu dimakannya. Nabi bertanya kepada ibunya, “Ini anak tadi mengambil kurma dari mana?” Sampai akhirnya, dipanggilnya Saidina Hasan dan dicongkel kurma dari mulutnya. Ini maknanya apa? Nabi tidak mau anak cucunya itu memakan sesuatu yang haram, walaupun ia masih kecil dan tidak ada dosa baginya, karena itu akan memberikan pengaruh kepadanya kelak ia besar.
So, berhati hatilah dalam mendidik anak karena anak merupakan investasi masa depan, ingat ini bukanlah hal yang sepele karena amal kita yang tidak terputus kelak adalah doa anak yang soleh lo..
Mudah mudahan tulisan ini bisa bermanfaat buat temen netter sekalian,,